Aku ingin merayakan kematianmu seribu kali lagi

Christyaputri
3 min readNov 8, 2022

--

Mei 2022

Kau tahu, suatu kali kapal pernah berseru pada samudra lepas, “Woi! Aku akan mengapung dan menjadi batas antara langit dan laut. Aku tak mungkin karam, sebab aku ini disusun oleh perhitungan-perhitungan yang akurat.” Namun perairan yang tak bersahabat menenggelamkan tubuhnya yang megah, kemudian saat belajar menyelam kutemukan karang tumbuh pada dindingnya yang sombong, menjelma kastil raksasa bagi hewan laut di sekitarnya.

Kau tahu, suatu kali manusia berpulang — entah ke mana sebetulnya pulang yang disebut-sebut orang itu — dan tubuhnya yang terbujur kaku ditumpuk di bawah tanah San Diego Hills. Makamnya dikelilingi kerabat-kerabat yang tengah menangisi kepergiannya, sebab hilang sudah satu makhluk hidup di bumi ini. Lalu pada ziarah yang tiba-tiba, kutemukan rumput liar merambat melebihi petak kubur yang sudah dibeli mahal-mahal, sembari semut-semut hitam berdansa di antaranya.

Rupanya benar bahwa segala yang berakhir akan bermula kembali. Lihatlah betapa bumi selalu bisa menemukan celah pada kematian untuk memperpanjang usianya.

Namun dalam kasus-kasus tertentu, bumi jijik lantaran selalu dilecehkan oleh manusia. Badannya ditelanjangi, disemen, ditumpuk beton-beton yang buat dadanya sesak minta ampun. Beliau menahan mual selama bertahun-tahun hingga akhirnya berhasil kentut melalui gempa bumi, diare melalui selokan yang tersumbat dibantu sang Hujan, keringatnya bercucuran melalui tanah longsor, kemudian muntah-muntah dahsyat melalui tsunami dan lahar gunung api.

Dalam kasus-kasus seperti ini, bumi mengorbankan peradaban sekaligus mengorbankan dirinya sendiri. “Mari mati bersama-sama, kalau itu maumu.” ujarnya. Lantas manusia teriak-teriak minta maaf sambil bertekuk lutut, serentak tunduk pada hal-hal yang tak bisa mereka kendalikan. Pada keheningan yang memekikkan telinga pasca kematian, semesta mendadak bergema melalui lantunan Berita Kepada Kawan oleh Ebiet G. Ade sebagai satu-satunya makhluk yang bertahan dari kiamat.

Demikianlah sang Pencipta menyeruput teh panas di Warung Tegal miliknya sendiri, menyemburkan asap pertama dari device vape favoritnya sembari susun-susun roadmap dunia yang baru.

Bumi reinkarnasi.

Manusia reinkarnasi.

Mungkin ini yang orang-orang sering sebut sebagai there’s nothing new under the sun. Sebab matahari memang telah menyaksikan segalanya sejak alam semesta tercipta, yakni pertunjukan berulang soal garis waktu yang elastis: lahir, hidup, mati, disusul dengan kelahiran kembali. Malam berganti pagi, barang antik pindah-pindah pemilik, hubungan asmara runtuh berganti yang baru, identitas diri berganti kedewasaan, dan segala perkara remeh-temeh yang serampangan kautangisi setiap malam.

Namun ketahuilah bahwa mula yang baru berarti dimensi yang baru, bukan lagi kiri ke kanan, melainkan perjalanan menuju kedalaman.

Sambil tengok-tengok ke dalam, kutemukan diri yang sejatinya telah mati di usia seperempat abad. Sayup-sayup terdengar nyanyian kelompok paduan suara membawakan lagu Mae-e gubahan Kentaro Sato. Kini aku tengah berada dalam fase peralihan yakni melayang-layang di perut bulan purnama, menanti hari kelahiranku yang baru sebagai bulan sabit. Entahlah. Aku masih terlalu sombong melabelkan diri semata-mata agar aku tetap punya nama panggilan.

Aku memejamkan mata menuju tidur setelah berlama-lama menulis dan menyunting, seraya merapalkan kalimat ini pada diri sendiri,

“Aku ingin merayakan kematianmu seribu kali lagi.”

--

--