Aku terobsesi dengan waktu

Christyaputri
2 min readSep 2, 2023

--

Apa hal yang paling mahal dalam hidup?
Waktu.

Berapa sisa waktu yang bapak dan ibu punya untuk menunda kematian sembari menunggu anak bungsunya menikah, berapa banyak waktu yang telah mengkristal jadi memori baik — atau yang terbuang sia-sia menanti janji yang terlambat, berapa banyak waktu berjalan paralel dalam semesta yang kata Marvel jumlahnya tak cuma satu, sampai-sampai melahirkan glitch dan déjà vu pada setiap benturan persimpangannya.

Bagaimana dinamika hidup waktu aku belum lahir dan pukul berapa precisely aku lahir — supaya orang pintar bisa menerjemahkan peta langit saat itu untuk mengorek-ngorek siapa aku sebenarnya: jati diriku, masa laluku, masa depanku. Lewat agama dan kartu tarot dan astrologi hingga tebak-tebakanku yang berlandaskan akumulasi kebetulan, dibukakannya padaku buku kehidupanku sampai pada inti-intinya, begini katanya:

Aku terobsesi dengan waktu.

Waktu. Waktu. Waktu. Semakin aku mengucapkannya semakin tak masuk akal ia terdengar. Waktu membuatku khawatir dan bijaksana, tapi kali ini aku nihil dibuatnya. Nothingness. Barangkali Einstein memang benar soal relativitas waktu — ia sudah lebih dulu memecahkan misteri ini daripadaku dan sejumlah orang yang dibodoh-bodohi waktu — bahwa waktu tak pernah ada, kolektif yang menciptakannya.

Bahkan tiga belas tahun lalu film Inception sudah menyertakan konsep waktu yang berbeda dalam tingkat kesadaran yang berbeda. Peradaban menciptakan waktu yang nilainya serupa mata uang dalam kapitalisme: sebagai alat ukur, sebagai tata tertib. Pagi, siang, sore, malam. Bedanya, alam raya tak bertuan. It runs its course. Atau kalaupun memang ada, ia entitas yang secara anatomi dan fisiologi tak sama seperti kita, manusia.

Dulu, sekarang, nanti.
Jika benar waktu tak berjalan linear, masihkah hidup ada maknanya?

--

--