Laut sibuk mau berkawan denganku, tapi aku senantiasa meragu

Christyaputri
2 min readOct 16, 2022

--

Nusa Penida, Juni 2022

Sebab ia dulu pernah mengancam hidupku. Si Laut ini ceroboh bukan main. Masa iya, setelah berpesta di bawah tanah, ia muntah ke jalan raya melalui muara dekat gang rumahku. Bikin orang-orang repot saja.

Beberapa tahun lalu aku buka hati, mencari sepupu-sepupunya yang lebih tenang: air kolam renang, air dangkal untuk snorkeling, air dan buih yang menyentuh ujung-ujung jari kaki di tepi pantai, air dari shower head. Mereka baik, aku menemukan kedamaian tahap satu entah dari berapa tahap totalnya. Berhasil, kami berteman baik.

Kemudian aku coba jadi extrovert dan menjamah kakak-kakaknya yang lebih tua: air kolam ukuran olimpiade, air laut warna biru tua, air terjun, air dan sepuluh ombak yang pecahnya tumpang tindih di Batu Bolong. Kali ini, aku naik kelas ke tahap satu setengah, sebab aku masih merasa terancam walau aku tak pernah benar-benar mati dibuatnya. Mentok-mentok, kepalaku hampir dihantam papan selancar milik orang lain dan kakiku sobek oleh karang-karang mati yang entah kenapa tak kunjung dimakamkan.

Semuanya berhenti di hampir. Tapi Laut mengubah haluan hidupku secara keseluruhan.

Tai. Mengapa kau tak enyah saja, ‘sih? Ya sudah, kalau memang tak mau enyah oleh karena tiada satupun yang mampu melebihi kekuasaanmu di bumi ini. Tapi kalau kau memang seagung itu, mengapa masih mampir-mampir di mimpiku? Kau mau apa lagi dariku yang sudah sisa puing-puing reruntuhan ini?

Tak lama setelah bermimpi, kudapati pipiku banjir air mata sampai ke bibir.

Namaku ini Bulan, ‘lho, Laut. Elemen zodiakku adalah air. Kita ini sesungguhnya cerminan dari satu sama lain. Hal ini menjawab mengapa aku selalu buat puisi yang manis-manis tentangmu — mungkin karena aku ingin sekali berkawan denganmu. Namun mengapa kau buat ini jadi sepuluh kali lipat lebih runyam?

--

--