Sarapan tengah malam

Christyaputri
3 min readNov 12, 2022

--

“Mengapa Shopping List menjadi nama band-mu?”

“Soalnya suka belanja, hehehe.”

“Memangnya orang seperti kamu suka belanja apa, sih?”

“Nggak, kok. Maksudnya mau mengkritisi kebiasaan orang kota yang suka belanja berlebihan.”

Sepertinya benar kata Mas Dwe. Bertambah hari, bertambah pula barang-barang dalam hunianku yang sempit ini. Rak besi yang sengaja kubeli satu bulan lalu untuk membereskan isu ini, kuendapkan di sudut kamar begitu saja dengan dalih sedang patah hati. Tapi aku harus segera menyusun buku-buku kiriman Kang Faisal yang masih berceceran di meja kerjaku sebelum mereka terlalu lama menggelandang tak punya rumah. Maka bermodalkan lembar panduan yang minim informasi, lunas sudah hutangku pada diri sendiri: rak besi berhasil dirakit.

Sambil susun-susun barang, dua butir telur omega dan lapisan-lapisan roti tawar bisik-bisik seolah sedang mencemooh pakaianku yang sudah bau debu. Sayup-sayup terdengar bahwa ada yang sudah mendekati tanggal kedaluwarsa. Ya sudah, pikirku, sambil memutar bola mata karena malas harus cuci alat masak dan alat makan yang masih tertinggal di dapur komunal. Hari menunjukkan pukul setengah dua belas. Layaknya budak yang terpaksa lembur, kukerjakan satu per satu sesuai arahan mereka dengan gestur malas-malasan.

Sudah bersih semuanya. Aku duduk di kursi. Ritual dimulai.

Keputusanku sudah bulat: telurnya ditunda dulu. Yang punya kepentingan tenggat waktu, kan, cuma roti. Namun sebetulnya aku hanya bersembunyi di balik topeng introvert yang enggan bolak-balik dapur. Sambil mengoleskan Blue Band ke permukaan roti, aku melirik meises Ceres dan lembar keju di pojok kiri meja. Kombinasikan saja sekalian, pikirku. Roti, meises, lembar keju, tumpuk satu roti lagi di atasnya. Sempurna. Kemudian aku mengingatmu. Kurasa kombinasi ini aneh untuk sebagian orang, tapi ini sarapan yang selalu kaubuatkan untukku.

“Aku cari kamu dalam setiap ruang,

seperti aku yang menunggu

kabar dari angin malam.”

Begitu tutur Is Payung Teduh lewat tajuk Kucari Kamu melalui speaker JBL warna tanah liat yang tengah hadap-hadapan denganku. Apakah kau menyanyikannya untukku, Bu?

Aku mendengarmu, Bu. Aku menghabiskan sarapan favoritku pukul dua belas malam tepat hari pembukaan usiaku yang baru. Pandanganku samar lantaran air sudah menggenang di bawah pelupuk mata. Kupikir tinggal berjarak denganmu dan melewati pasang surut kehidupan sendirian selama kurang lebih delapan tahun, aku akan menemukan jati diri, akan terlihat keren, akan jadi yang paling kuat. Tapi nyatanya aku hanya seorang anak yang makan roti sambil menangis di hadapan keberadaanmu yang kubuat-buat.

Tak akan ada roti lapis malam ini bila mereka tak lebih dulu memanggil-manggil namaku. Tak akan keluar kartu personal transformation dalam bacaan oracle card pekan lalu bila kau tak pernah beri aku nama baptis Crescentia yang ternyata selama ini salah eja. Tak akan ada aku dan segala pertemuan dengan orang-orang terbaik dalam hidupku bila kau tak ada. Rupanya perayaan hari ulang tahun terbaik adalah dengan mengingat bahwa pertama-tama sebelum semuanya ada, kita, Bu, sudah lebih dulu bertaut melalui rahimmu.

Aku sama sekali tak merencanakan tulisan ini. Namun doamu yang lantang mengetuk segala pintu di bumi ini sampai-sampai terdengar oleh jari-jariku. Setelah ini kau tak perlu lagi mencari-cari aku lewat vokalis Payung Teduh. Sebab hari ini, Bu, aku sudah menemukanmu.

--

--